English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 10 Juli 2011

Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik

Politik dan pendidikan mempunyai keterkaitan yang tidak bisa diabaikan. Keterkaitannya berlangsung dalam dua arah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sederhananya, berpolitik tanpa didasari pendidikan yang baik dapat mengakibatkan politik yang rapuh, sebaliknya pendidikan tanpa dipolitisir belum tentu dapat menjamin pemecahan masalah praktis kemasyarakatan. Dikatakan oleh Sindhunata (2000) bahwa pendidikan akan terjamin dan bermasa depan jika tanggung-jawab pendidikan tidak selalu dipikulkan pada pihak sekolah, pendidikan harus menjadi isu politik.
Paradigma pendidikan saat ini adalah pendidikan yang demokratis dan pendidikan yang demokratis hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat, bangsa dan negara yang juga demokratis. Demokrasi, termasuk demokrasi pendidikan, memang tidak menyembuhkan berbagai penyakit pembangunan, termasuk untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, tetapi demokrasi memberikan peluang terbaik bagi terlaksananya keadilan dan terhormatinya harkat dan martabat kemanusiaan. Pendidikan yang demokratis akan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik.
Sampai saat ini, pendidikan yang demokratis masih merupakan cita-cita yang belum semuanya terwujud. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 bab III pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Namun dalam kenyataan masih terdapat fenomena pendidikan yang tidak demokratis, misalnya fenomena kurang memadainya kualitas proses dan produk pendidikan. Yang menjadi pertanyaan “apakah kajian dari topik politik dan pendidikan dapat menjawab fenomen-fenomena tersebut”
Bagi sebagian besar dari masyarakat Indonesia, memandang pendidikan dan politik adalah dua hal yang terpisah, dan antara keduanya tidak ada hubungan apapun. Hal yang menjadi pusat perhatian para politikus hanyalah masalah ekonomi dan politik, tanpa mempertimbangkan adanya kemungkinan, bahwa dalam jangka panjang, masalah ekonomi dan politik ada hubungannya dengan masalah pendidikan.
Terdapat fenomena historis yang cukup memperlihatkan antara pendidikan dan politik, yakni hubungan yang bersifat kausal tak langsung. Hubungan ini terlihat melalui kekontrasan yang sangat tajam antara generasi politik periode pra-kemerdekaan dengan periode pasca-kemerdekaan. Pada periode pra-kemerdekaan, hadir pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dalam perjuangan membuat Indonesia menjadi merdeka. Sebaliknya, periode pasca-kemerdekaan, hadir pemimpin politik yang tidak mampu menyatakan idealismenya dalam bentuk perilaku politik yang pantas.
Tiga generalisasi yang dikemukakan adalah untuk menjelaskan kekontrasan yang tajam ini. Pertama, adanya perbedaan mutu pendidikan dasar yang diterima sebelum mereka memasuki kehidupan politik. Kedua, adanya perbedaan “populasi” penghuni dunia politik. Pada era pra-kemerdekaan, dunia politik dihuni oleh “the educated minority”. Sedangkan, pada pasca-kemerdekaan, dunia politik dikuasai oleh golongan yang hanya mampu menggalang dukungan dari masyarakat. Ketiga, adanya perbedaan dalam Zeitgeist (“semangat zaman”). Dalam periode pra-kemerdekaan, “semangat melawan dan memerdekakan” tumbuh dengan kuat, sedangkan dalam periode pasca-kemerdekaan, semangat ini diperlemah secara sistematis, yang ada hanayalah semangat “mengabdi pada penguasa” yang sarat akan manipulasi dan eksploitasi.
Dari ketiga generalisasi di atas, terlihat bahwa pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menjadi sumber dari timbulnya perbedaan yang bersifat inter-generasional dalam budaya politik. Tetapi, ketiga generalisasi ini juga tidak menyanggah tesis mengenai pentingnya peranan pendidikan dalam pembinaan budaya politik. Pendidikan yang menghasilkan kemampuan yang memadai, pada waktunya akan melahirkan budaya politik yang humanistik-patriotik.

Sabtu, 09 Juli 2011

KEANEKARAGAMAN DAN POLA DISTRIBUSI ECHINODERMATA PADA DAERAH PASANG SURUT DI PANTAI DESA KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

Terbit Jurnal Simbiosis ISBN
Abstrak. Penelitian pengembangan bahan ajar sains berdasarkan karakteristik siswa dalam pembelajaran di SMP/MTs bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran sains oleh guru di laboratorium, bahan ajar yang digunakan oleh guru, pengaruh implementasi model bahan ajar berdasarkan karakteristik siswa terhadap peningkatan aktivitas siswa, dan Kontribusinya bagi guru dan untuk mengetahui efektivitas modul dan sistim evaluasi di laboratorium. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang dikembangkan oleh Borg dan Gall dengan tujuh langkah yang meliputi survey, perencanaan model yang akan dikembangkan, uji coba bahan ajar, pengembangan produk, uji validitas, dan sosialisasi untuk implementasi model bahan ajar. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dan wawancara dengan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa semua variabel yang diukur, sangat efektif di Ambon, dan Seram Bagian Barat (60%), juga sikap terhadap sains sangat efektif di Seram Bagian Barat (49%). Sedangkan untuk fasilitas yang sangat baik adalah di Maluku tengah, SBB dan Ambon. Dapat disimpulkan bahwa bahan ajar, dan sistim evaluasi dalam pembelajaran sains dapat dikembangkan sebagai alternatif pemecahan masalah dalam pembelajaran sains bagi siswa SMP/MTs di Provinsi Maluku.
Kata Kunci: Model Bahan Ajar, dan Karakteristik Siswa

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SAINS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SISWA DALAM PEMBELAJARAN DI SMP/MTs

Terbitan SemNas FKIP UNS 2011 Rumahlatu, D & Wenno, I.H
Abstrak. Penelitian pengembangan bahan ajar sains berdasarkan karakteristik siswa dalam pembelajaran di SMP/MTs bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran sains oleh guru di laboratorium, bahan ajar yang digunakan oleh guru, pengaruh implementasi model bahan ajar berdasarkan karakteristik siswa terhadap peningkatan aktivitas siswa, dan Kontribusinya bagi guru dan untuk mengetahui efektivitas modul dan sistim evaluasi di laboratorium. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang dikembangkan oleh Borg dan Gall dengan tujuh langkah yang meliputi survey, perencanaan model yang akan dikembangkan, uji coba bahan ajar, pengembangan produk, uji validitas, dan sosialisasi untuk implementasi model bahan ajar. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dan wawancara dengan guru. Hasil penelitian menunjukan bahwa semua variabel yang diukur, sangat efektif di Ambon, dan Seram Bagian Barat (60%), juga sikap terhadap sains sangat efektif di Seram Bagian Barat (49%). Sedangkan untuk fasilitas yang sangat baik adalah di Maluku tengah, SBB dan Ambon. Dapat disimpulkan bahwa bahan ajar, dan sistim evaluasi dalam pembelajaran sains dapat dikembangkan sebagai alternatif pemecahan masalah dalam pembelajaran sains bagi siswa SMP/MTs di Provinsi Maluku.
Kata Kunci: Model Bahan Ajar, dan Karakteristik Siswa

PENILAIAN PORTOFOLIO SEBAGAI ALTERNATIF DALAM PENILAIAN BERBASIS KELAS

Terbit Jurnal Logika ISBN
Abstrak.Reformasi pembelajaran dan penilaian belajar saat ini sedang melanda dunia pendidikan di Indonesia. reformasi pendidikan yang saat ini sedang berjalan adalah munculnya gagasan perubahan paradigma lama, yaitu belajar berbasis pengetahuan (knowledge based learning) menjadi paradigma baru, yaitu belajar berbasis kompetensi (competence based learning). Reformasi sains itu juga diikuti dengan reformasi dalam penilaian belajar. Dalam reformasi tersebut strategi pembelajaran dan penilaian belajar yang berbasis pada teori-teori belajar behavioristik diganti dengan pendekatan pembelajaran dan penilaian baru, yaitu pembelajaran dan penilaian belajar yang bersifat holistik dan konstruktivis. Reformasi pembelajaran di Indonesia dengan kata lain di implementasikan dengan diterapkannya strategi pembelajaran baru, yaitu pembelajaran konstruktivis yang kontekstual (pembelajaran kontekstual), dan penilaian belajar baru, yaitu penilaian bersifat otentik yang juga sering disebut dengan penilaian berbasis kelas.Dalam penerapan penilaian berbasis kelas tidak lagi menggunakan format-format penilaian tradisional (multichoising, matching, true – false dan paper and pencil test), tetapi menggunakan format yang memungkinkan siswa untuk menjelaskan suatu tugas atau mendemonstrasikan suatu performansi dalam memecahkan suatu masalah. Format penilaian itu dapat berupa portofolio.
Kata-kata kunci: Penilaian portofolio, Penilaian berbasis kelas

Jumat, 08 Juli 2011

GENERALITAS MEMBERIKAN ALASAN HIPOTETIK DEDUKTIF: MEMBUAT PEMIKIRAN ILMIAH EKSPLISIT

Generalisasi merupakan suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki. Aristoteles memperkenalkan penggunaan cara berpikir deduktif dengan proses penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus dengan memakai kaidah tertentu. Cara berpikir deduksi memungkinkan seseorang menyusun premis-premis menjadi pola-pola yang dapat memberikan bukti untuk penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang berasal dari cara berpikir deduktif dikatakan benar apabila premis yang menjadi dasar kesimpulan tersebut benar. Telah diungkapkan sebelumnya bahwa mengembangkan pemikiriran hipothetico-deductive dengan memunculkan pertanyan-pertanyaan beruntun menggunakan kata-kata kunci dasar seperti bila..., dan..., maka..., dan/tetapi..., oleh karena itu... Pertanyaan seperti ini membuat pola berpikir menjadi lebih eksplisit dan hal ini sangat berguna bagi seorang ilmuwan. Hal ini terbukti dengan berkembangnya beberapa teori, seperti teori peredaran darah yang sebelumnya salah namun dengan bantuan hipothetico-deductive dan penelitian yang terus dikembangkan hingga akhirnya melahirkan teori peredaran darah hingga saat ini masih diyakini kebenarannya. Penggunaan pola pikir secara deduktif oleh ilmuwan terdahulu telah melahirkan postulat-postulat yang dapat dijadikan embrio perkembangan sebuah teori. Singarimbun & Efendi (1987) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan postulat adalah asumsi dasar yang kebenarannya diterima tanpa menuntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakekatnya harus disahkan melalui proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ilmiah melainkan ditetapkan secara begitu saja, namun dalam pandangan filsafat sebenarnya eksistensi postulat tidak sukar untuk dimengerti. Dalam paradigma kelimuan saat ini, hipothetico-deductive, penerapannya digunakan dalam penelitian ilmiah, dengan mengembangkan hipotesis. Menurut Depdikbud, (1983) hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu masalah. Hipotesis disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan adanya jawaban berupa penyusunan hipotesis, maka metode ilmiah dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verivicatif atau gabungan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi. Penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris melalui pengamatan. Selanjutnya, proses induksi berperan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis dengan pengumpulan fakta-fakta empiris untuk menguji apakan sebuah hipotesis didukung oleh fakta-fakta. Filosof Inggris, Francis Bacon pada abad ke-17 mengusulkan metode berpikir induktif. Bacon menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin. Sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif merupakan suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Berpikir induksi menuntut orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena. Tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara berpikir yang diambil secara induktif bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti makin representatif dan makin besar pula taraf dapat dipercaya (validitas) dari kesimpulan itu, dan sebaliknya. Taraf validitas kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena-fenomena yang diselidiki. Prosedur untuk mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah memunculkan penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang diperlukan, dan didukung oleh bukti empiris. Teori yang diperoleh dari berpikir ilmiah memilki dua syarat, yakni (1) konsisten dengan teori sebelumnya, (2) cocok dengan fakta-fakta empiris. untuk itu, maka teori yang belum teruji kebenarannya secara empiris dari semua penjelasan rasional statusnya hanya bersifat sementara atau penjelasan sementara (hipotesis). Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang kita hadapi. Fungsinya sebagai penunjuk jalan untuk mendapatkan jawaban, membantu menyalurkan penyelidikan. Menurut Pandia (2007) hipotesis disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Pengetahuan ilmiah adalah perkembangan setahap demi setahap (jumlh penyusunan hipotesis). Dari hipotesis: menguji hipotesis (mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata), proses pengajian ini (pengumpulan fakta yang relefen dengan hipotesis yang diajukan. Hal tersebut dirumuskan dengan logika ilmiah. Logika tidak cukup untuk menemukan kebenaran, karena “kepelikan alam jauh lebih basar daripada kepelikan argumen”; dalam hal ini logika dimulai dengan suatu anggapan yang sudah jadi yang menyebabkan terjadinya suatu kesimpulan yang menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Kesimpulan yang menyimpang dapat diperbaiki dengan penggunaan logika ilmiah yang benar, yakni metode ilmiah. Berpikir ilmiah melalui proses logico-hipotetico-verifikatif yang mendasari langkah-langkah, sebagai berikut; perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan (Depdikbud, 1983). Suriasumantri (2009) mengemukan enam langkah dasar prosedur ilmiah yaitu: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan maalah, (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, (3) penyusunan atau klasifikasi data, (4) perumusan hipotesis, (5) deduksi dan hipotesis, (6) Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. Dengan berpikir deduktif-induktif dapat melahirkan teori yang merupakan sebuah kebenaran. Menurut Depdikbud (1983) kriteria kebenaran teori terdiri atas tiga yaitu: (1) teori koherensi; suatu pernyataan diangap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, (2) Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkoresponden (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut, (3) Teori pragmatis; kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan prakis dalam kehidupan manusia. Proses berfikir di atas menggambarkan suatu bentuk pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. Menurut john Dewey proses berfikir mempunyai urutan-urutan sebagai berikut: 1. Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba. 2. Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan. 3. Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori. 4. Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data). 5. Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan. Perkembangan pendidikan biologi dan ilmu biologi saat ini tidak terlepas dari peranan filsafat atau berfikir filsafat. Suharsaputra (2004) mengemukakan bahwa ciri berfilsfat adalah; radikal, sistematis, dan universal. Radikal bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekuensinya dengan tidak terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umm. Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional dan dapat dipertanggung jawabkan. Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas. Penggunaan deductive-induktif telah banyak diterapkan. Penerapan dalam pembelajaran biologi maupun ilmu biologi bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan. prinsip umum itu ke dalam keadaan khusus. Hal ini akan memunculkan pembentukan postulat-postulat untuk melahirkan sebuah teori. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam penerapan hipothetico-deductive dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip. aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif; (2) menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3) disajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan, prinsip umum; dan (4) disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaan umum (Abied, 2009). Berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dari tiga preposisi statement yang terdiri dari “premis” yaitu dasar penarikan kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung suatu kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dan yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir deduktif orang bertolak dan suatu teori prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum Dari situ diterapkan kepada fenomena-fenomena yang khusus. dan mengambi kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut. Dalam konteks pembelajaran pendekatan induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh-contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu; (3) disajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Makmun (dalam Dossuwanda, 2010) siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau pengertian dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif. deduktif, analisis, sintesis. asosiasi. diferensiasi, komparasi, dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule” (prinsip. dalil, aturan. hukum, kaidah. dan sebagainya). Pendekatan yang tidak bersifat demokratis ialah pendekatan deduktif yang agak lebih banyak mengandung sifat otoriter. Dalam kegiatan pembelajaran guru dalam mengajar tidak memberikan siswa kesempatan sepenuhnya menemukan. membuktikan sendiri prinsip, hukum dan sebagainya tentang bahan belajar yang harus ditelaah. Kondisi yang diisyaratkan kemungkinan tercapainya proses belajar seperti ini, Gagne menyarankan: (1) siswa diberitahukan tentang bentuk “performance” yang diharapkan jikak yang bersangkutan telah mengalami proses belajar; (2) siswa diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang pengingatannya (recall) terhads konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkap ke perbendaharaan pengetahuannya; (3) siswa diberikan beberapa kata-kata kunci (kode) yang menyatakan ke arah pembentukan rule tertentu yang diharapkan (4) diberikan kesempatan kepada siswa mengekspressikan dan menyatakan ru tersbut dengan kata-kata sendiri; dan (5) siswa diberikan kesempatan selanjutnya untuk membuat rumusan rule tersebut dalam bentuk-benti statement formal bersifat optional sukarela. Sebagai gambaran pendekatan silogisme dan genelisasi yang dilakukan guru diungkapkan dalam contoh sebagai berikut. Contoh pertama; Guru berpikir bahwa minat siswa berpengaruh pada tingginya prestasi belajar. Oleh karena itu, guru melakukan penelitian yang judulnya “Korelasi antara Minat dengan Prestasi Belajar” atau “Pengaruh Minat terhadap Prestasi Belajar”. Dalam contoh ini mungkin guru merasa telah melakukan suatu tindakan karena sudah menyusun angket minat dan membuka dokumen daftar nilai. Apa hasilnya? Setelah angket disebarkan kepada siswa, kemudian diperoleh data dan diolah dengan statistik maka guru akan memperoleh informasi berupa indeks korelasi. Guru puas, tetapi prestasi belajar siswa tidak terpengaruh apa-apa, jadi tetap saja tidak naik. Ditinjau dari sisi guru, sama sekali profesinya tidak meningkat. Dalam peristiwa ini guru hanya menyusun angket minat dan menganalisis nilai yang ada pada dokumen. Apanya yang meningkat? Tidak ada! Contoh kedua yang banyak dilakukan oleh guru, tetapi sangat tidak tepat adalah penelitian untuk mengetahui pengaruh latar belakang pendidikan orang tua dengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini guru juga tidak melakukan apa-apa, bahkan berpikir kurang tepat. Guru berprasangka, jika pendidikan orang tua siswa tinggi, pasti dapat memberikan bimbingan kepada anaknya dalam belajar sehingga prestasi anak-anak tinggi. Hasil dari penelitian ini justru ada bahayanya. Jika prestasi siswa yang orang tuanya berpendidikan tinggi lebih baik dari siswa yang orang tuanya berpendidikan rendah, saran peneliti harus berbunyi: “Orang tua sebaiknya berpendidikan tinggi agar prestasi anaknya baik”. Contoh ketiga; guru mempunyai permasalahan tentang aktifitas belajar siswa, penguasaan materi pembelajaran dengan sarana belajar, sehingga guru melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya, setelah melakukan penelitian dapat dikatakan ada peningkatan siswa menjadi aktif, penyempaian materi menjadi menyenangkan karena temannya menjadi tutor atau pemberi materi pelajaran. Berdasarkan contoh di atas dapat dijabarkan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Contoh pertama; penelitian yang dilakukan guru salah atau tidak sah karena tidak menggunakan pendekatan silogime yang benar, yaitu: pengaruh minat terhadap prestasi belajar. Angket disebarkan kepada siswa prestasi belajar siswa tidak berubah. 2. Contoh kedua; Pendidikan orang tua siswa tinggi. Pendidikan orang tua siswa tinggi tidak terjadi kesimpulan 3. Contoh ketiga; Jika menggunakan metode yang sesuai dan kreatif maka Siswa aktif dan belajar menyenangkan. Penggunaan variasi metode pembelajaran dilaksanakan, Makasiswa menjadi aktif. Pada contoh ketiga ini menggunakan logika silogisme hipotetik, yaitu jika A terlaksana maka B terlaksana

PERMASALAHAN ETIS DALAM PENDIDIKAN

Peningkatan kualitas pendidikan tinggi merupakan suatu keharusan universal yang harus dijalankan oleh semua penyelenggara pendidikan tinggi, baik pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Kualitas pendidikan yang dicapai selama ini terasa kurang memberikan bekal kepada lulusan perguruan tinggi. Hal tersebut dapat dibuktikan dari lemahnya daya saing lulusan perguruan tinggi Indonesia di kancah Internasional. Mahasiswa sebagai stakeholder utama perguruan tinggi sudah semestinya dapat memperoleh apa yang diinginkan. Agar mahasiswa memperoleh apa yang diharapkan, maka pihak perguruan tinggi harus dapat mensinergikan antara harapan mahasiswa dengan visi, misi dan tujuan organisasi. Sinergisitas harapan mahasiswa dan kepentingan kampus akan tercapai apabila proses pembelajaran yang dilakukan dengan mengedepankan aspek kualitas, fasilitas memadai, dan layanan administrasi serta manajemen yang profesional selain pendidikan karakter dan etika. Perguruan tinggi sesuai dengan visi dan misinya merupakan institusi penggarap dan penghasil SDM unggul sebagai jembatan di dalam menghasilkan produk berkualitas untuk mampu berkompetisi di pasar global. Mahasiswa merupakan elemen vital dan sentral dalam suatu perguruan tinggi, dan rasanya sangat berkepentingan untuk memahami faktor-faktor yang menentukan kepuasan mahasiswa terhadap perguruan tingginya mengingat mahasiswa lebih memiliki idealisme dan sebagai stakeholder inti. Perguruan tinggi berkepentingan untuk memenuhi aneka dimensi kepuasan terutama mahasiswa demi terwujudnya output mahasiswa yang berkualitas agar dapat memberikan kontribusi terbaik dalam pengabdiannya bagi kepentingan masyarakat. Pengelola perguruan tinggi tak terkecuali perlu juga memiliki obsesi untuk membangun komitmen yang tinggi terhadap peningkatan kualitas tenaga pengajar. Komitmen tenaga pengajar atau dosen agar meningkatkan kualitas menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas pula. Peningkatan kualitas pembelajaran pendidikan tinggi yang dimaksud pada saat ini, yaitu proses pembelajaran yang cenderung kurang memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan diri secara mandiri, sehingga mahasiswa mampu menemukan jati dirinya. Di sebagian perguruan tinggi peran dosen dalam proses pembelajaran masih sangat kental, sehingga tidak banyak porsi keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang sering terjadi adalah dosen merupakan pusat pembelajaran dan bukan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Proses pembelajaran di Perguruan Tinggi, seharusnya menggunakan cara-cara pembelajaran orang dewasa, yaitu pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, karena mahasiswa merupakan sosok yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri, bergerak dari ketergantungan seperti pada masa kanak-kanak. Kematangan diri adalah kematangan psikologis mahasiswa, sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri, mendorong timbulnya kebutuhan psikologis, yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa ataupun dimanipulasi oleh orang lain (Narimo dalam Kusmandari, 2006). Lebih lanjut Kusmandari (2006) mengungkapkan bahwa tingkat kematangan merupakan salah satu faktor yang mendorong mahasiswa memberikan persepsi terhadap sesuatu yang dapat mereka rasakan selama mereka menjadi mahasiswa. Ada mahasiswa yang cukup senang dengan keadaan yang dirasakan selama menjadi mahasiswa baik dari sisi proses pembelajaran, fasilitas kampus, lingkungan dan kehidupan kampus saat ini. Namun ada pula mahasiswa yang merasa kurang atau tidak puas terhadap proses pembelajaran, fasilitas kampus, lingkungan dan kehidupan kampus sehingga muncul ketidakpuasan dalam dirinya sebagai stakeholder inti. Tenaga kependidikan di perguruan tinggi merupakan seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelanggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar dan membimbing, meneliti dan melakukan pengabdian pada masyarakat pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Hal ini, berimplikasi dan berpengaruh terhadap sikap etis lulusannya. Dunia pendidikan yang baik akan mencetak mahasiswa menjadi calon pekerja yang mempunyai sikap profesional dan berlandaskan pada standar moral dan etika. Sebagai pemasok tenaga profesional ke dunia usaha dan bisnis, perguruan tinggi mempunyai peran yang sangat strategis untuk mengantarkan dan mempersiapkan para mahasiswa menjadi calon-calon profesional yang mempunyai nilai- nilai etis yang baik (Universitas Gunadarma. Tanpa Tahun). Dalam banyak hal, pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari pembahasan mengenai moral. Suseno (dalam Firdaus, 2010) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Sedangkan Kundarto (2010) mengungkapkan bahwa etika (ethos) adalah sebanding dengan moral (mos), dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitte). Sitte dalam perkataan Jerman menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, suatu konstansi tindakan manusia. Karenanya secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia. Dalam konteks etika profesi, etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral. Perilaku moral di sini lebih terbatas pada pengertian yang meliputi kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu. Pada berbagai riset tentang isu-isu etika, secara umum menghindari diskusi filosofi tentang benar atau salah dan pilihan baik atau buruk. Namun lebih difokuskan pada perilaku etis atau tidak etis yang didasarkan pada apakah mereka mematuhi kode etik profesinya atau tidak dalam berbagai aspek kehidupan kampus (Kundarto, 2010). Sebagai Akademis yang sementara mengikuti Program Doktor, Pertanyaan yang dapat dimunculkan; Apakah selesai studi ini kita cukup pantas untuk melakukan pembimbingan kepada mahasiswa? Pertanyaan ini didasarkan karena terdapat berbagai permasalahan pembimbingan yang biasanya dialami mahasiswa perguruan tinggi Indonesia bila dibandingkan dengan permasalahan pembimbingan mahasiswa di perguruan tinggi luar negeri. Menurut Sutiman (2010) permasalahan pembimbingan yang biasanya dialami mahasiswa, yakni: (1) Pembimbing memberikan saran sangat sedikit atau kadang-kadang tidak ada/apalagi membantu hal yang praktis. Mahasiswa disuruh sendirian melakukan, (2) Untuk menemui pembimbing sangatlah susah. Pembimbing biasanya perginya kemana-mana, (4) Mahasiswa menyerahkan draft proposal tapi didiamkan dan dibiarkan karena tidak dibaca dan dalam memberikan komentar sangatlah sedikit. Fenomena ini sangatlah bertentangan dengan kode etik profesi sebagai sorang pendidik, padahal kualifikasi doktor yang diharapkan, yakni (1) Mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi dan/atau kesenian baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian, (2) Mempunyai kemampuan mengelola dan mengembangkan program penelitian, (3) Mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya. Terkait dengan fenomena di atas, maka peran lembaga/fakultas sangat diharapkan untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi mahasiswa dalam mempercepat studi mahasiswa. Selain itu, kurikulum pendidikan tinggi, sudah seharusnya memperhatikan: (1) program perkuliahan, penelusuran akademik, dan interaksi akademik meliputi: seminar, pertemuan professional dan penelitian baik yang bersifat kepustakaan, laboratorik maupun lapangan. (2) proses pembimbingan. Pembimbingan harus dilakukan dalam komunitas/kelompok di bawah koordinasi guru besar/lektor kepala. Dalam komunitas/kelompok tersebut, mahasiswa program diberi kesempatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan

BIOMONITORING LOGAM BERAT

Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar yang dapat mengurangi kualitas perairan. Untuk itu maka diperlukan metode untuk mengevaluasi dan memantau kualitas perairan sebagai kepentingan universal manusia. Selama beberapa dekade terakhir, biomonitoring telah banyak digunakan sebagai pendekatan untuk mengestimasi stasus pencemaran logam berat di berbagai lingkungan. biomonitoring adalah penggunaan suatu spesies tertentu yang dapat memberikan informasi terkait dengan status pencemaran lingkungan oleh logam berat tertentu berdasarkan analisis matriks lingkungan, analisis jaringan dan molekul organisme yang terpapar logam berat dan efeknya kepada manusia Berdasarkan pengertian biomonitoring, maka dapat dijelaskan ruang lingkup biomonitoring. Ruang lingkup yang dimaksud meliputi variable-variabel yang menjadi objek kajian dalam biomonitoring (de Zwart, 1995). Variabel-variabel yang menjadi objek kajian dalam biomonitoring, menurut Zhou et al. (2008) berupa organism perairan yang memiliki variasi respons biologis terhadap paparan (exposure) logam berat. Untuk mengetahui, apakah suatu spesies dapat digunakan sebagai variable biomonitoring maka berbagai teknik dapat digunakan. Teknik/metode yang digunakan dalam biomonitoring berhubungan dengan bioakumulasi, perubahan biokimia, pengamatan morfologi dan perilaku, serta pendekatan level-populasi dan komunitas. biomonitoring dapat menjadi alat yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungannya dengan mengukur bahan kimia tertentu berdasarkan periode waktu (jam, hari, minggu, bulan, dan tahun), hasilnya dapat bermanfaat untuk mengetahui jumlah dan efek paparan bahan kimia tertentu pada manusia. selain itu, Biomonitoring dapat digunakan untuk menilai tingkat bahan kimia yang terdapat di lingkungan