English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 08 Juli 2011

GENERALITAS MEMBERIKAN ALASAN HIPOTETIK DEDUKTIF: MEMBUAT PEMIKIRAN ILMIAH EKSPLISIT

Generalisasi merupakan suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki. Aristoteles memperkenalkan penggunaan cara berpikir deduktif dengan proses penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus dengan memakai kaidah tertentu. Cara berpikir deduksi memungkinkan seseorang menyusun premis-premis menjadi pola-pola yang dapat memberikan bukti untuk penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang berasal dari cara berpikir deduktif dikatakan benar apabila premis yang menjadi dasar kesimpulan tersebut benar. Telah diungkapkan sebelumnya bahwa mengembangkan pemikiriran hipothetico-deductive dengan memunculkan pertanyan-pertanyaan beruntun menggunakan kata-kata kunci dasar seperti bila..., dan..., maka..., dan/tetapi..., oleh karena itu... Pertanyaan seperti ini membuat pola berpikir menjadi lebih eksplisit dan hal ini sangat berguna bagi seorang ilmuwan. Hal ini terbukti dengan berkembangnya beberapa teori, seperti teori peredaran darah yang sebelumnya salah namun dengan bantuan hipothetico-deductive dan penelitian yang terus dikembangkan hingga akhirnya melahirkan teori peredaran darah hingga saat ini masih diyakini kebenarannya. Penggunaan pola pikir secara deduktif oleh ilmuwan terdahulu telah melahirkan postulat-postulat yang dapat dijadikan embrio perkembangan sebuah teori. Singarimbun & Efendi (1987) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan postulat adalah asumsi dasar yang kebenarannya diterima tanpa menuntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakekatnya harus disahkan melalui proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ilmiah melainkan ditetapkan secara begitu saja, namun dalam pandangan filsafat sebenarnya eksistensi postulat tidak sukar untuk dimengerti. Dalam paradigma kelimuan saat ini, hipothetico-deductive, penerapannya digunakan dalam penelitian ilmiah, dengan mengembangkan hipotesis. Menurut Depdikbud, (1983) hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu masalah. Hipotesis disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan adanya jawaban berupa penyusunan hipotesis, maka metode ilmiah dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verivicatif atau gabungan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi. Penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris melalui pengamatan. Selanjutnya, proses induksi berperan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis dengan pengumpulan fakta-fakta empiris untuk menguji apakan sebuah hipotesis didukung oleh fakta-fakta. Filosof Inggris, Francis Bacon pada abad ke-17 mengusulkan metode berpikir induktif. Bacon menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin. Sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif merupakan suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Berpikir induksi menuntut orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena. Tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara berpikir yang diambil secara induktif bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti makin representatif dan makin besar pula taraf dapat dipercaya (validitas) dari kesimpulan itu, dan sebaliknya. Taraf validitas kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena-fenomena yang diselidiki. Prosedur untuk mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah memunculkan penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang diperlukan, dan didukung oleh bukti empiris. Teori yang diperoleh dari berpikir ilmiah memilki dua syarat, yakni (1) konsisten dengan teori sebelumnya, (2) cocok dengan fakta-fakta empiris. untuk itu, maka teori yang belum teruji kebenarannya secara empiris dari semua penjelasan rasional statusnya hanya bersifat sementara atau penjelasan sementara (hipotesis). Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang kita hadapi. Fungsinya sebagai penunjuk jalan untuk mendapatkan jawaban, membantu menyalurkan penyelidikan. Menurut Pandia (2007) hipotesis disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Pengetahuan ilmiah adalah perkembangan setahap demi setahap (jumlh penyusunan hipotesis). Dari hipotesis: menguji hipotesis (mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata), proses pengajian ini (pengumpulan fakta yang relefen dengan hipotesis yang diajukan. Hal tersebut dirumuskan dengan logika ilmiah. Logika tidak cukup untuk menemukan kebenaran, karena “kepelikan alam jauh lebih basar daripada kepelikan argumen”; dalam hal ini logika dimulai dengan suatu anggapan yang sudah jadi yang menyebabkan terjadinya suatu kesimpulan yang menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Kesimpulan yang menyimpang dapat diperbaiki dengan penggunaan logika ilmiah yang benar, yakni metode ilmiah. Berpikir ilmiah melalui proses logico-hipotetico-verifikatif yang mendasari langkah-langkah, sebagai berikut; perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan (Depdikbud, 1983). Suriasumantri (2009) mengemukan enam langkah dasar prosedur ilmiah yaitu: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan maalah, (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, (3) penyusunan atau klasifikasi data, (4) perumusan hipotesis, (5) deduksi dan hipotesis, (6) Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. Dengan berpikir deduktif-induktif dapat melahirkan teori yang merupakan sebuah kebenaran. Menurut Depdikbud (1983) kriteria kebenaran teori terdiri atas tiga yaitu: (1) teori koherensi; suatu pernyataan diangap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, (2) Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkoresponden (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut, (3) Teori pragmatis; kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan prakis dalam kehidupan manusia. Proses berfikir di atas menggambarkan suatu bentuk pencapaian kesimpulan, dalam setiap cakupan terbentang suatu proses (urutan) berfikir tertentu sesuai dengan substansinya. Menurut john Dewey proses berfikir mempunyai urutan-urutan sebagai berikut: 1. Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenai sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba. 2. Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan. 3. Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori. 4. Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data). 5. Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan. Perkembangan pendidikan biologi dan ilmu biologi saat ini tidak terlepas dari peranan filsafat atau berfikir filsafat. Suharsaputra (2004) mengemukakan bahwa ciri berfilsfat adalah; radikal, sistematis, dan universal. Radikal bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekuensinya dengan tidak terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umm. Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional dan dapat dipertanggung jawabkan. Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas. Penggunaan deductive-induktif telah banyak diterapkan. Penerapan dalam pembelajaran biologi maupun ilmu biologi bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan. prinsip umum itu ke dalam keadaan khusus. Hal ini akan memunculkan pembentukan postulat-postulat untuk melahirkan sebuah teori. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam penerapan hipothetico-deductive dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip. aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif; (2) menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3) disajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan, prinsip umum; dan (4) disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaan umum (Abied, 2009). Berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dari tiga preposisi statement yang terdiri dari “premis” yaitu dasar penarikan kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung suatu kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dan yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir deduktif orang bertolak dan suatu teori prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum Dari situ diterapkan kepada fenomena-fenomena yang khusus. dan mengambi kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut. Dalam konteks pembelajaran pendekatan induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh-contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu; (3) disajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Makmun (dalam Dossuwanda, 2010) siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau pengertian dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif. deduktif, analisis, sintesis. asosiasi. diferensiasi, komparasi, dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule” (prinsip. dalil, aturan. hukum, kaidah. dan sebagainya). Pendekatan yang tidak bersifat demokratis ialah pendekatan deduktif yang agak lebih banyak mengandung sifat otoriter. Dalam kegiatan pembelajaran guru dalam mengajar tidak memberikan siswa kesempatan sepenuhnya menemukan. membuktikan sendiri prinsip, hukum dan sebagainya tentang bahan belajar yang harus ditelaah. Kondisi yang diisyaratkan kemungkinan tercapainya proses belajar seperti ini, Gagne menyarankan: (1) siswa diberitahukan tentang bentuk “performance” yang diharapkan jikak yang bersangkutan telah mengalami proses belajar; (2) siswa diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang pengingatannya (recall) terhads konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkap ke perbendaharaan pengetahuannya; (3) siswa diberikan beberapa kata-kata kunci (kode) yang menyatakan ke arah pembentukan rule tertentu yang diharapkan (4) diberikan kesempatan kepada siswa mengekspressikan dan menyatakan ru tersbut dengan kata-kata sendiri; dan (5) siswa diberikan kesempatan selanjutnya untuk membuat rumusan rule tersebut dalam bentuk-benti statement formal bersifat optional sukarela. Sebagai gambaran pendekatan silogisme dan genelisasi yang dilakukan guru diungkapkan dalam contoh sebagai berikut. Contoh pertama; Guru berpikir bahwa minat siswa berpengaruh pada tingginya prestasi belajar. Oleh karena itu, guru melakukan penelitian yang judulnya “Korelasi antara Minat dengan Prestasi Belajar” atau “Pengaruh Minat terhadap Prestasi Belajar”. Dalam contoh ini mungkin guru merasa telah melakukan suatu tindakan karena sudah menyusun angket minat dan membuka dokumen daftar nilai. Apa hasilnya? Setelah angket disebarkan kepada siswa, kemudian diperoleh data dan diolah dengan statistik maka guru akan memperoleh informasi berupa indeks korelasi. Guru puas, tetapi prestasi belajar siswa tidak terpengaruh apa-apa, jadi tetap saja tidak naik. Ditinjau dari sisi guru, sama sekali profesinya tidak meningkat. Dalam peristiwa ini guru hanya menyusun angket minat dan menganalisis nilai yang ada pada dokumen. Apanya yang meningkat? Tidak ada! Contoh kedua yang banyak dilakukan oleh guru, tetapi sangat tidak tepat adalah penelitian untuk mengetahui pengaruh latar belakang pendidikan orang tua dengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini guru juga tidak melakukan apa-apa, bahkan berpikir kurang tepat. Guru berprasangka, jika pendidikan orang tua siswa tinggi, pasti dapat memberikan bimbingan kepada anaknya dalam belajar sehingga prestasi anak-anak tinggi. Hasil dari penelitian ini justru ada bahayanya. Jika prestasi siswa yang orang tuanya berpendidikan tinggi lebih baik dari siswa yang orang tuanya berpendidikan rendah, saran peneliti harus berbunyi: “Orang tua sebaiknya berpendidikan tinggi agar prestasi anaknya baik”. Contoh ketiga; guru mempunyai permasalahan tentang aktifitas belajar siswa, penguasaan materi pembelajaran dengan sarana belajar, sehingga guru melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya, setelah melakukan penelitian dapat dikatakan ada peningkatan siswa menjadi aktif, penyempaian materi menjadi menyenangkan karena temannya menjadi tutor atau pemberi materi pelajaran. Berdasarkan contoh di atas dapat dijabarkan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Contoh pertama; penelitian yang dilakukan guru salah atau tidak sah karena tidak menggunakan pendekatan silogime yang benar, yaitu: pengaruh minat terhadap prestasi belajar. Angket disebarkan kepada siswa prestasi belajar siswa tidak berubah. 2. Contoh kedua; Pendidikan orang tua siswa tinggi. Pendidikan orang tua siswa tinggi tidak terjadi kesimpulan 3. Contoh ketiga; Jika menggunakan metode yang sesuai dan kreatif maka Siswa aktif dan belajar menyenangkan. Penggunaan variasi metode pembelajaran dilaksanakan, Makasiswa menjadi aktif. Pada contoh ketiga ini menggunakan logika silogisme hipotetik, yaitu jika A terlaksana maka B terlaksana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar