English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 08 Juli 2011

PERMASALAHAN ETIS DALAM PENDIDIKAN

Peningkatan kualitas pendidikan tinggi merupakan suatu keharusan universal yang harus dijalankan oleh semua penyelenggara pendidikan tinggi, baik pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Kualitas pendidikan yang dicapai selama ini terasa kurang memberikan bekal kepada lulusan perguruan tinggi. Hal tersebut dapat dibuktikan dari lemahnya daya saing lulusan perguruan tinggi Indonesia di kancah Internasional. Mahasiswa sebagai stakeholder utama perguruan tinggi sudah semestinya dapat memperoleh apa yang diinginkan. Agar mahasiswa memperoleh apa yang diharapkan, maka pihak perguruan tinggi harus dapat mensinergikan antara harapan mahasiswa dengan visi, misi dan tujuan organisasi. Sinergisitas harapan mahasiswa dan kepentingan kampus akan tercapai apabila proses pembelajaran yang dilakukan dengan mengedepankan aspek kualitas, fasilitas memadai, dan layanan administrasi serta manajemen yang profesional selain pendidikan karakter dan etika. Perguruan tinggi sesuai dengan visi dan misinya merupakan institusi penggarap dan penghasil SDM unggul sebagai jembatan di dalam menghasilkan produk berkualitas untuk mampu berkompetisi di pasar global. Mahasiswa merupakan elemen vital dan sentral dalam suatu perguruan tinggi, dan rasanya sangat berkepentingan untuk memahami faktor-faktor yang menentukan kepuasan mahasiswa terhadap perguruan tingginya mengingat mahasiswa lebih memiliki idealisme dan sebagai stakeholder inti. Perguruan tinggi berkepentingan untuk memenuhi aneka dimensi kepuasan terutama mahasiswa demi terwujudnya output mahasiswa yang berkualitas agar dapat memberikan kontribusi terbaik dalam pengabdiannya bagi kepentingan masyarakat. Pengelola perguruan tinggi tak terkecuali perlu juga memiliki obsesi untuk membangun komitmen yang tinggi terhadap peningkatan kualitas tenaga pengajar. Komitmen tenaga pengajar atau dosen agar meningkatkan kualitas menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas pula. Peningkatan kualitas pembelajaran pendidikan tinggi yang dimaksud pada saat ini, yaitu proses pembelajaran yang cenderung kurang memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan diri secara mandiri, sehingga mahasiswa mampu menemukan jati dirinya. Di sebagian perguruan tinggi peran dosen dalam proses pembelajaran masih sangat kental, sehingga tidak banyak porsi keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang sering terjadi adalah dosen merupakan pusat pembelajaran dan bukan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Proses pembelajaran di Perguruan Tinggi, seharusnya menggunakan cara-cara pembelajaran orang dewasa, yaitu pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, karena mahasiswa merupakan sosok yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri, bergerak dari ketergantungan seperti pada masa kanak-kanak. Kematangan diri adalah kematangan psikologis mahasiswa, sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri, mendorong timbulnya kebutuhan psikologis, yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa ataupun dimanipulasi oleh orang lain (Narimo dalam Kusmandari, 2006). Lebih lanjut Kusmandari (2006) mengungkapkan bahwa tingkat kematangan merupakan salah satu faktor yang mendorong mahasiswa memberikan persepsi terhadap sesuatu yang dapat mereka rasakan selama mereka menjadi mahasiswa. Ada mahasiswa yang cukup senang dengan keadaan yang dirasakan selama menjadi mahasiswa baik dari sisi proses pembelajaran, fasilitas kampus, lingkungan dan kehidupan kampus saat ini. Namun ada pula mahasiswa yang merasa kurang atau tidak puas terhadap proses pembelajaran, fasilitas kampus, lingkungan dan kehidupan kampus sehingga muncul ketidakpuasan dalam dirinya sebagai stakeholder inti. Tenaga kependidikan di perguruan tinggi merupakan seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh penyelanggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar dan membimbing, meneliti dan melakukan pengabdian pada masyarakat pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Hal ini, berimplikasi dan berpengaruh terhadap sikap etis lulusannya. Dunia pendidikan yang baik akan mencetak mahasiswa menjadi calon pekerja yang mempunyai sikap profesional dan berlandaskan pada standar moral dan etika. Sebagai pemasok tenaga profesional ke dunia usaha dan bisnis, perguruan tinggi mempunyai peran yang sangat strategis untuk mengantarkan dan mempersiapkan para mahasiswa menjadi calon-calon profesional yang mempunyai nilai- nilai etis yang baik (Universitas Gunadarma. Tanpa Tahun). Dalam banyak hal, pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari pembahasan mengenai moral. Suseno (dalam Firdaus, 2010) mengungkapkan bahwa etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Sedangkan Kundarto (2010) mengungkapkan bahwa etika (ethos) adalah sebanding dengan moral (mos), dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitte). Sitte dalam perkataan Jerman menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, suatu konstansi tindakan manusia. Karenanya secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang moda-moda tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia. Dalam konteks etika profesi, etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral. Perilaku moral di sini lebih terbatas pada pengertian yang meliputi kekhasan pola etis yang diharapkan untuk profesi tertentu. Pada berbagai riset tentang isu-isu etika, secara umum menghindari diskusi filosofi tentang benar atau salah dan pilihan baik atau buruk. Namun lebih difokuskan pada perilaku etis atau tidak etis yang didasarkan pada apakah mereka mematuhi kode etik profesinya atau tidak dalam berbagai aspek kehidupan kampus (Kundarto, 2010). Sebagai Akademis yang sementara mengikuti Program Doktor, Pertanyaan yang dapat dimunculkan; Apakah selesai studi ini kita cukup pantas untuk melakukan pembimbingan kepada mahasiswa? Pertanyaan ini didasarkan karena terdapat berbagai permasalahan pembimbingan yang biasanya dialami mahasiswa perguruan tinggi Indonesia bila dibandingkan dengan permasalahan pembimbingan mahasiswa di perguruan tinggi luar negeri. Menurut Sutiman (2010) permasalahan pembimbingan yang biasanya dialami mahasiswa, yakni: (1) Pembimbing memberikan saran sangat sedikit atau kadang-kadang tidak ada/apalagi membantu hal yang praktis. Mahasiswa disuruh sendirian melakukan, (2) Untuk menemui pembimbing sangatlah susah. Pembimbing biasanya perginya kemana-mana, (4) Mahasiswa menyerahkan draft proposal tapi didiamkan dan dibiarkan karena tidak dibaca dan dalam memberikan komentar sangatlah sedikit. Fenomena ini sangatlah bertentangan dengan kode etik profesi sebagai sorang pendidik, padahal kualifikasi doktor yang diharapkan, yakni (1) Mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi dan/atau kesenian baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian, (2) Mempunyai kemampuan mengelola dan mengembangkan program penelitian, (3) Mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya. Terkait dengan fenomena di atas, maka peran lembaga/fakultas sangat diharapkan untuk dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi mahasiswa dalam mempercepat studi mahasiswa. Selain itu, kurikulum pendidikan tinggi, sudah seharusnya memperhatikan: (1) program perkuliahan, penelusuran akademik, dan interaksi akademik meliputi: seminar, pertemuan professional dan penelitian baik yang bersifat kepustakaan, laboratorik maupun lapangan. (2) proses pembimbingan. Pembimbingan harus dilakukan dalam komunitas/kelompok di bawah koordinasi guru besar/lektor kepala. Dalam komunitas/kelompok tersebut, mahasiswa program diberi kesempatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar